Laman

Kamis, 26 Desember 2013

Ring and Love

Kekuatan cincin, masih dipertanyakan apakah benar adanya. Tak sedikit film yang mengangkat kisah tentang keajaiban sebuah cincin yang luar biasa dampaknya untuk kehidupan. Ini terjadi dan benar adanya kisah yang dimulai dan entah bagaimana ending dari kisah tersebut.
            “Gue baru selesai nonton Lord of The Ring 1,2,3. Demi itu film, rela deh begadang dan liat deh mata panda keliatan banget nih,” keluh senang Vinna sambil mendaratkan pipinya di atas meja kantin.
            “Kapan sih lu gak ngabisin waktu lu buat nonton itu film? Kayaknya lu seneng banget sama film tentang ring-ring dan semacamnya itu. Ngebet mau dilamar?” sibuknya Benta dengan kaca tapi masih fokus melontarkan ucapannya pada temannya itu.
            “Apaan sih! Cuma tertarik dan seneng aja. Cerita filmnya juga oke, apa salahnya?” masih asik dengan posisi pipi di atas meja.
            Ada sangkut pautnya antara film yang menceritakan tentang cincin dengak kehidupan Vinna. Tepat dijari kelingking tangan kirinya, terdapat cincin perak polos. Ketika usianya masih tujuh tahun, cincin itu masuk di jari tengah tangan kirinya tanpa dia paham siapa anak yang memberi cincin itu.
--
            Di bawah langit orange yang sangat indah tapi menampakkan sebuah misteri dari awan yang terbentuk di langit, menandakan bahwa hari akan gelap dan waktu untuk menghentikan aktivitas bermain.
            Taman bermain di kompleks perumahan itu sudah sepi, hanya ada Vinna yang sedang mengambil sampah tersisa untuk dimasukkan ke dalam tong sampah. Pemandangan berubah seketika, sesosok anak laki-laki menghampiri Vinna, sontak membuat anak kecil ini kaget dan takut.
            “Kamu lagi ngapain? Aku udah mau pulang.” Jelas Vinna.
            Tak ada jawaban yang terdengar yang diharapkan Vinna, tapi pikirnya tak mungkin dia meninggalkan anak laki-laki itu sendiri, sedangkan langit akan gelap.
            “Kamu mau kemana?”
            Tak ada jawaban yang dikeluarkan anak laki-laki itu. Tapi hanya sebuah gerakan badan, anak itu menarik tangan kiri Vinna dan memasukkan sebuah cincin di jari tengah Vinna. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar, anak laki-laki itu langsung berlari menuju mobil tanpa ada sebuah ucapan atau salam perpisahan pada Vinna. Hanya memandang ke arah mobil, lama dan semakin lama, mobil itu hilang bagai di telan cahaya langit yang mulai memudar, membuat jalan semakin gelap.
            Vinna pulang dengan pertanyaan tak sampai yang seharusnya dilontarkannya pada anak itu, mata Vinna masih tertuju ke cincin yang ada di jari tengah tangan kirinya itu. Jawaban yang dia dapat tentang cincin itu adalah anak laki-laki itu memberikan cincin sebagai hadiah ulangtahun Vinna. Karena seminggu yang lalu adalah ulang tahun Vinna. Semenjak kejadian itu, Vinna tidak pernah memikirkannya. Hanya abaian yang dia lakukan tentang kejadian itu, tapi cincin itu tak dibuang. Masih ada di jarinya.
--
 Sudah 13 tahun berlalu dari kejadian itu, tapi Vinna masih menyimpan dan memakai cincin yang sekarang ada di jari kelingkingnya. Vinna sudah tumbuh dewasa, hidup sebagai mahasiswi semester 2 di Fakultas Ekonomi salah satu Universitas Negeri di kota Semarang.
“Besok ada dosen gak, Gin?” tanya Vinna.
“Besok kuliah kosong, ke kosan gue yaa.. Kita ngerujak,” jawab cepat Gina sambil memperlihatkan jari telunjuknya berdiri diatas kepalanya.
“Ide bagus, jam 11-an aja ya?” Saut Benta.
“Okay!”
Selesai kuliah hari itu, Vinna, Gina, Benta, dan Tasya pergi ke toko buku yang bisa dibilang lumayan jauh dari daerah kampus mereka. Biasanya, setelah mencari dan membaca buku, mereka akan melanjutkan makan di tempat favorit mereka.
“Liat cowok itu, Ben.” Vinna menunjuk ke arah cowok yang berdiri di sudut rak buku.
“Ganteng, Vin,” jawab Benta sambil menatap Vinna dengan mata berkaca. “Lu kenal dia? Atau dia cowok yang lagi lu taksir, Vin?” goda Benta.
“Gila lu, Ben. Itu cowok daritadi kayaknya ngikutin gue mulu.” Asiknya mereka bergosip, tiba-tiba..
“Ngomongin gue, ya?” Jo datang, sontak membuat Vinna dan Benta kaget.
“Astaga! Lu ngagetin gue aja. Ge-er banget sih, kita lagi asik ngomongin buku kok.” Jawab Vinna dengan cetus sambil memperlihatkan novel yang sedang ia pegang.
“Gue Jonathan, panggil aja Jo.”
Karena kejadian barusan, mereka malah menjadi dekat. Tak lagi asik dengan buku yang dicari, malah asik ngobrol.
“Lo sendiri aja, Jo?” Tanya Vinna sibuk melihat sekeliling Jo.
“Sama temen kok, sebentar lagi dia ke sini.”
“Oh,” jawab Vinna belum selesai, tiba-tiba sesosok laki-laki menghampiri mereka.
“Udah selesai, Jo? Buru balik, anak-anak pada nungguin kita buat latihan,” ajak Uki dan langsung meninggalkan Vinna dan Benta.
Setelah pertemuan itu, mereka tak pernah bertemu lagi. Tapi Vinna merasakan sesuatu ketika kehadiran Jo dan Uki di hadapannya. Vinna tak menyadari apapun itu, tapi entah untuk kedua laki-laki yang bertemu dengannya di toko buku kemarin.
“Sya, gue ntar duluan ya. Soalnya mau ke perpus dulu.”
“Oke, buk.” Jawab singkat Tasya.
Saat masuk ke perpus kampus, Vinna merasakan getaran dan hawa yang berbeda dan tak asing baginya. Sibuk mencari buku yang dicari, berjalan dan mengelilingi setiap rak buku yang tingginya dua kali lipat dari tinggi badannya. Perasaan itu hadir lagi, seperti ada bayangan orang yang semakin lama semakin mendekati Vinna. Dengan rasa takut dan gugup, badan Vinna sedikit bergetar, dan tiba-tiba..
Dreeett..Dreeeett..
Suara getar dari Hp Vinna, membuat dia harus sedikit melompat karena kaget dan mengakhiri ketakutannya di balik suara Gina di telpon.
“Vin, lo dimana? Ada cowok yang nyariin lo nih, namanya, Jonathan.”
“Jo?”
“Lo kenal? Cepet ke kantin, gue sama anak-anak di sini.”
Mampus!!! Apaan lagi nih, kenapa tiba-tiba Jo bisa di kampus dan nyariin Vinna. Dengan buru-buru, Vinna langsung ke kampus dan meninggalnya banyak pertanyaan tentang bayangan yang ada di perpus tadi.
Kedatangan Jo ke kampus hanya untuk memberikan buku yang sedang Vinna cari dan tak dapat ditemukan oleh Vinna
“Syukurlah, thanks, Jo!”
Setelah hari itu, Vinna dan Jo sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama saat weekend. Pergi makan, ke toko buku, ngobrol di Cafe favorit. Sampai pada akhirnya, Jo mengungkapkan cinta kepada Vinna.
“Maaf, Jo. Aku masih asik temenan sama kamu,” Vinna menjawab dengan keraguan di mata nya .
Mungkin inilah yang dinamakan kutukan, sebuah kutukan cincin yang masih mengelilingi jari kelingking Vinna.
“Mau sampe kapan lu jomblo gini, Vin? Kurang apa Jo di mata lo? Keren, ganteng, baik, asik, kece. Trus?”
“Emang, tapi rasanya masih ada yang ngeganjel.”
“Apa? Karena cincin? Buang aja itu cincin, dikutuk lu sama itu cincin.” Gina melontarkan kalimat dengan nada agak kesal.
Vinna memasang muka heran dan penasaran ke arah cincin di jari kelingkingnya itu, benar-benar ini cincin kutukan. Setiap ada yang menyatakan cinta kepada Vinna, pasti Vinna akan menolaknya.
--
Dua bulan berlalu..
Weekend tiba, Vinna dan ketiga temannya nongkrong di Cafe biasanya, memesan secangkir cappucino cokelat dan roti bakar keju susu bertabur meses di atasnya. Vinna melihat seorang yang dua bulan lalu baru menyatakan cinta padanya, sedang asik bertukar cerita dengan teman sebelahnya, dan asik memainkan gitar.
“Vin, proposal kegiatan ini bener gak? Gue masih ragu nih, kan biasanya lu sering ngurusin proposal acara kampus,” Tasya memberikan proposal ke Vinna, tapi Vinna tak meliriknya sama sekali. “Vin!” Masih tak ada jawaban, “Vinna!” Tasya memukul bahu Vinna, sontak membuat Vinna kaget.
“Ya, maaf, Jo.” Jawab Vinna langsung melirik Tasya. Dan membuat ketiga temannya itu ketawa terbahak-bahak. Dan membuat perhatian Jo dan temannya mengarah ke tempat duduk yang sedang di tempati Vinna.
Sorry, sorry. Gue gak fokus.” Dengan muka bego, Vinna sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dan tak disangka, Jo memperhatikannya.
“Gimana gak fokus, kan yang diliat cowok ganteng yang ada di pojok sana,” goda Gina masih dengan tawa gelinya.
“Apaan sih, gak kok!” Vinna dengan wajah malu langsung permisi ke toilet.
Semenjak kejadian itu, Vinna sering merasakan sebuah keraguan. Keraguan di mata laki-laki yang sering menatapnya dengan tatapan tajam. Bukan Jo, tetapi Uki. Sebuah tolakan cinta yang ini berbeda, ketika Jo mengungkapkan cintanya, Vinna menolak dengan cepat. Karena saat kejadian itu berlangsung, rasanya ada bayangan sesosok yang tak dikenal dan sebuah cincin yang muncul di pikiran Vinna.
--
“Vinna masih memakai cincin itu, Jo.” Uki memulai pembicaraan.
“Ya, masih terlihat sangat jelas.” Pandangan Jo sangat kosong, terdiam dan sangat lemas.
“Rasanya bahagia melihat dia masih memakainya, mungkin dia gak bisa melupakan anak yang memberikannya cincin itu.”
“Sudahlah, Ki. Lagipula dia udah nolak gue secara terang-terangan.”
--
Siang yang terik, matahari mulai merangkak dengan pelan dan membagikan kekuatan berupa rasa hangat dan panas. Vinna berniat bertemu dengan Uki, ya, menghampiri kampus Uki dan Jo, terlihat tulisan Teknik Sipil di depan gedung itu.
“Hai. Uki?” sapa dinginnya Vinna sambil melambaikan tangan.
“Ya, ada urusan apa?”
“Bisa kita ngobrol sebentar?”
“Gue? Bukannya Jo?”
“Bukan.”
Vinna dan Uki pergi ke tempat yang biasanya Vinna dan temannya tongkrongi, sebuah tempat yang sangat pekat harum kopi dan cokelatnya.
Vinna melepaskan cincin yang ada di jari kelingkingnya dan meletakkan di dekat cangkir kopi Uki. “Lo tau cincin ini?”
“Maksudnya?”
“Jujur, gue ngerasa beda ketika jarak gue sama lo masih dalam satu tempat. Itu elo kan?”
Hening seketika, beberapa menit tak ada yang mengeluarkan suara. Uki terdiam, Vinna pun seperti dirasuki kediaman Uki. Masih dihangatkan dengan wangi jenis kopi yang entah apa itu, tapi sangat menggoda. Rintik hujan yang mulai jatuh dan mengembunkan kaca, seakan ingin mendinginkan dan mencairkan suasana.
“Ya, itu Gue.” Uki menjawab dengan sorotan mata yang mengarah ke Vinna. “Gue yang masukin cincin itu ke jari lo, tapi cincin itu bukan dari gue, Vin.”
“Lalu? Dari siapa?” Lontaran jawaban dan rasa keingintahuan Vinna sangat besar terlihat dari sosok matanya.
“Jo.” Jawab singkat Uki.
“Apa?” Vinna masih tak mempercayainya dan mengulangi pertanyaan.
“Jonathan.”
“Jo sering memperhatikan elu, Vin. Tapi dia gak berani mau berteman atau hanya mengucap hai. Tanggal itu, dia tau kalo lo ulang tahun. Hanya ada permata terakhirnya di dunia, setelah kematian ibu nya. Peninggalan cincin yang Jo putuskan untuk menjadikan sebuah hadiah ulang tahun buat lo. Tapi dia takut, lo bakal nolak. Akhirnya, dia minta tolong ke gue buat ngasih cincin itu ke elo, Vin.”
“Waktu itu masih kecil, lo gak lagi ngarang kan, Ki?”
“Ngga ada guna nya juga gue bohong. Pas di perpus, itu bayangan gue, Vin. Sorry udah buat lo ketakutan.”
“Lo ngapain ngikutin gue?”
“Awalnya gue mau ngomong masalah cincin itu, gue pikir lo bakal nerima Jo setelah lo tau kebenaran 13 tahun yang lalu.” Uki melepaskan pandangannya terhadap Vinna.
Masih dalam percakapan yang belum bisa terbayangkan bakal terjadi seperti ini, tiba-tiba Jo datang. Dengan wajah heran dan takut, baju yang basah karena hujan, Vinna dan Uki sontak kaget melihat Jo yang tiba-tiba datang.
“Jo.” Uki kaget dan tak habis pikir kenapa Jo bisa tau keberadaannya.
“Apa-apan ini, Ki?” Jo menatap Uki dengan tatapan kesal dan penuh amarah.
Dengan sigap dan cepatnya Vinna berdiri, Vinna langsung memeluk tubuh Jo yang ada di sampingnya dalam keadaan basah.
“Maaf.” Vinna masih dalam posisi memeluk Jo.
“Gak, Vin. Aku yang salah. Aku belum berani bilang jujur sama kamu, Vin.” Jo mengeratkan pelukannya.
“13 tahun aku dihantui bayangan yang selalu muncul, tapi aku gak tau itu siapa. Bayangan yang selalu mengucapkan kata-kata yang tak aku ketahui aku harus menjaga siapa. Aku gak bisa buang cincin ini, karena sangat berat untuk membuangnya. Beberapa tahun ini rasanya sangat berat bagiku, Jo. Aku kadang nangis, karena cincin ini seakan-akan mengharuskan aku untuk menemui yang dia tuju. Yang harus aku lindungi, ibu mu adalah bayangan itu. Dan kamu adalah tujuannya, Jo.” Vinna melepaskan pelukannya, dan mengelap air mata.
“Maaf, kalo selama ini kamu menanggung perasaan ini, Vin. 13 tahun aku memperhatikanmu, tapi baru kali ini aku berani bicara.”
“Tujuan ku sudah tercapai, Jo. Mungkin aku harus mengembalikan cincin ini ke kamu, bukan aku yang dituju oleh cincin itu, Jo.” Vinna mengulurkan tangannya, mengharapkan Jo mengambil cincin itu.
Seperti harapan Vinna, Jo mengambil cincin itu. Vinna meninggalkan Jo..
Seketika, Jo menarik tangan Vinna.
“Gak, Vin. Ibu memilih kamu buat aku.” Jo memasukkan cincin itu ke jari tengah Vinna, walau hanya diujung jari, cincin itu bisa mendarat di tangan Vinna. Jo, langsung memeluk Vinna dengan erat.
Bayangan yang selalu hadir di pikiran Vinna, tujuan yang harus di temukan dan dipenuhi, ternyata cincin itu mencari Jo. Lega dan ringannya, itulah perasaan yang sedang Vinna rasakan. Tak ada bayangan, hanya sebuah tujuan yang harus merasakan kebahagiaan.
--
                                                                                                        By. NSW

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog